Monday 17 December 2012

Didik dan Tarbiyahlah Diri Kalian

"Didik dan tarbiyah-lah diri kalian agar menjadi representasi dan dakwah Islam. Bergaulah dengan objek dakwah kalian, di sekolah, di kampus, di masjid, di lingkungan RT/RW, di kantor, di tempat kerja, di jalan, di pasar, di mana saja! Kenalilah mereka, pelajarilah seluk beluk hati nurani mereka, lalu masuklah melalui pintu-pintunya, insyaAllah kalian akan menjadi penyebab terhidayahnya banyak orang! Jika hal itu terlaksana, kita mendapatkan sesuatu yang lebih baik daripada kekayaan yang paling berharga (humrun na'am)"
awali dari diri sendiri
awali dari keluarga

maka, dengan izin Allah, Islam akan semakin tegak di muka bumi ini

*sumber : Taujih Musyaffa Andurrahim

TTD curhatibu.com

Wednesday 5 December 2012

Anak Shaleh yang Mendoakan

"Besarnya pengharapan inilah yang menjadi kekuatan bapak ibumu dalam mengasuh dan membesarkanmu. kalau kelak engkau menjadi anak yang saleh, dan bapak ibumu senantiasa berharap dengan penuh kesungguhan, tidak ada yang lebih berharga untuk diharapkan darimu melebihi doa-doa yang engkau panjatkan dengan tulus kepada Allah 'Azza wa Jalla bagi kedua orangtuamu ini. harapan inilah yang membuat bapak ibumu  bersedia mengorbankan apa pun, termasuk kesehatan, asalkan kelak engkau termasuk di antara waladun shalihun yad'u lah, Anak shaleh yang mendoakan.

Inilah yang senantiasa merisaukan orangtuamu, Anakku, bagaimana mengantarkan engkau menjadi waladun shalihun yad'u lah. jika engkau termasuk anak yang saleh, setiap perbuatanmu dapat menjadi kebaikan bagi orangtuamu. Jika engkau mendoakan bapak ibumu, Allah akan bukakan pintu-pintu kebaikan. Kebaikan itu akan terus mengalir apabila engkau mendioakan, sekalipun bapak ibumu telah berselimut kain kafan.

Tetapi sekedar mendoakan, Anakku.. tanpa ada kesalehan yang mengiringi doa-doa itu, rasanya akan sia. Sebab, seperti yang engkau baca, anak-anak yang bisa menambah catatan kebaikan bagi kedua orang tuanya sesudah kematian menjemput adalah anak-anak shaleh yang mendoakan. Ini berarti engkau harus menjadi manusia shaleh ketika mendoakan. Tanpa keshalehan, doa itu akan melayang begitu saja. Apalagi doa itu bukan engkau sendiri yang mengucapkan. Dan betapa banyak kulihat, kala seorang anak Adam meninggal dunia, para tetangga mendoakan si mati, sementara anak-anaknya mengaminkan pun tidak. Mereka menyibukkan diri dengan makanan yang akan dihidangkan"

(positive parenting, moh fauzil adhim)

----------------------------------
luar biasa. sudahkah kita menjadi anak shaleh yang mendoakan orang tua kita?

Harta Kita Sebenarnya

"Sujudkan pula harta dan duniamu, agar tidak pernah menguasai hatimu. Sesungguhnya, harta itu letaknya dalam genggamanmu. bukan pada hatimu. Apabila harta itu engkau letakkan di tanganmu, engkau akan ringan hati membelanjakan di jalan-Nya. Tetapi, apabila harta itu engkau simpan dalam hatimu, sedikit saja yang berkurang, akan dapat menggelisahkan dirimu, sehingga dengan itu justru harta yang sedang mendekat kepadamu, akan berlari sejauh-jauhnya. 

Sesungguhnya, harta yang akan menjadi milikmu kelak di yaumil-Qiyaamah adalah yang engkau belanjakan di jalan yang benar. Setiap keping yang engkau jadikan shadaqah, ia akan tetap menjadi milikmu sampai hari kiamat. Setiap keping yang engkau bayarkan sebagai zakat, ia akan menjadi pembelamu pada hari ketika tidak ada perlindungan kecuali perlindungan Allah semata. Setiap keping yang engkau belanjakan untuk keluargamu, untuk anak-anak yatim, untuk jihad fii sabiilillah, untuk amar ma'ruf nahi munkar, untuk mengongkosi perjalananmu melakukan kebaikan, maka ia tetap menjadi milikmu dan senantiasa berlipat kebaikannya, hingga engkau berjumpa di hari akhir kelak. ia akan me ngantarmu ke surga atas perkenan-Nya. InsyaAllah" (positive parenting, ust. fauzil adhim. hal. 136)

Subhanallah.. 
Cukuplah kutipan di atas menjadi pengingat kita, terutama yang sudah berkeluarga. menyadari untuk meletakkan harta di tangan. Pun, ketika harus membiayai urusan keluarga, untuk jihad dsb, tidak perlu khawatir dan hitung-hitungan harta kita habis. Karena sungguh, keping-keping itulah yang kekal menjadi milik kita, di hari akhir kelak.

---------------------------------------
Penegasan kutipan :
Setiap keping yang engkau belanjakan untuk:
1. Keluargamu --> kiriman untuk orang tua, nafkah untuk istri dan anak
2. Anak-anak yatim --> anak asuh, tetangga yang kekurangan, anak jalanan
3. Jihad fii sabiilillah --> berjuang di jalan Allah, donasi untuk palestina
4. Amar ma'ruf nahi munkar --> belanja fasilitas kebaikan, laptop, modem yang digunakan untuk dakwah, menulis, dsb
5. Mengongkosi perjalananmu melakukan kebaikan --> termasuk kerja, mencari ilmu, dsb

nb: terdapat hadits riwayat Imam Muslim, bahwa harta kita adalah yang kita makan lalu  menjadi kotoran, yang kita pakai lalau menjadi kusam, dan yang kita belanjakan di jalan Allah 

Sunday 2 December 2012

Resep Keluarga Bahagia

bahan baku :
1 butir ketulusan
3 gram pengertian
1 siung cinta kasih
1/2 gram kepedulian
400 gram kesabaran dipotong halus
2 sendok rasa humor
7 lembar perhatian

cara memasak :
campurkan semua bahan baku di atas, ulek dengan penuh perasaan.
larutkan ke dalam hati terdalam
jangan masak dengan api kemarahan
masaklah dengan kehangatan kasih sayang
jika sudah matang, hidangkan dengan senyum manis
beri sedikit racikan mesra sebagai garnis
dijamin bener-bener bahagia keluarga kita*

kurang bumbu?**
dikemas dalam piring ketaqwaan
disuapkan dengan penuh kewara'an
membaca tasmiyah berharap keridhaan Allah

---------------------------
* dari kedai bu broto
** dari Nur Syamsudin

Tuesday 6 November 2012

Rencana Kita vs Rencana Allah



keluarga sakinah
"Kita boleh berencana, tapi tetap, kita harus siap untuk menerima setiap perubahan rencana yang digariskan Allah pada kita," setidaknya, demikian satu pesan yang saya tangkap dari beliau.

Siang yang cerah. Alhamdulillah, masih bisa menyempatkan waktu hadir dalam majelis ilmu itu. Sempat goyah, apakah ikut atau tidak. Sedang di kantor, kerjaan masih ada yang belum terselesaikan. Namun, karena sayang Allah pada saya (semoga), saya bisa hadir. 

Majelis ilmu, sebagaimana semestinya, pastilah bertabur hikmah, bertabur ilmu, dan tentunya 'bertabur' malaikat. Maka, demikian yang semoga ikut mengaminkan pinta yang sengaja atau tak sengaja terucap di dalamnya. 

"Saya kelahiran 84. Lulus STAN 2005. Menikah tahun 2006. Lalu di tahun 2007 saya melahirkan untuk pertama kali. Tahun 2008, kelahiran yang kedua. Baru tahun 2011 kemarin, saya melahirkan lagi untuk ketiga kalinya. Sekarang, wallahu alam, sudah telat datang bulan 1 pekan.
Semoga saja, Allah berkenan memberikan yang keempat." papar al ukh, pengisi majelis ilmu siang ini.

Spontan saja, kami langsung bertasbih, "Subhanallah..."

Tak ayal. Dengan wajah semuda itu, sungguh tak menyangka beliau adalah seorang ibu dari 3 anak. Masya Allah. Memang, meski wajahnya muda, ada kedewasaan yang berbeda, terbersit dari raut wajahnya. Beliau seusia kakak saya.

"Ya, kita harus siap. Saya pernah, dengan suami, bercanda ingin anak berapa. Lalu kami spontan mengatakan tujuh. Becanda saja sih. Saya juga berencana untuk resign dari kemenkeu ini."

"Kenapa mba?" tanya salah seorang antara kami.

"Ya, banyak alasan. Pun banyak pertimbangan. Banyak prioritas yang kemudian harus pandai-pandai kita pilah. Hingga pertimbangan panjang, termasuk konsekuensi yang kemungkinan akan berhadir atas segala keputusan. Pun, termasuk, kembali lagi, masalah keturunan." kata al ukh, kembali kepada materi bahasan utama, yaitu prioritas. Hm, sepertinya sangat nyambung dengan diskusi kita usai materi tersampaikan. 

"Ada pasangan yang ingin bersegera mempunyai momongan. Maka mereka berikhtiar, dengan jalan manusiawi, misalnya penyesuaian masa subur sang istri, makanan bergizi, menjaga kesehatan, dan seterusnya. Ada juga pasangan yang ingin menunda dulu beroleh momongan, dengan alasan keuangan, pendidikan, kondisi, dan lainnya. Ada juga yang tidak punya rencana khusus, dilakukan mengalir saja. Termasuk pilihan untuk ber-KB atau tidak. Semuanya ada pertimbangan, dan tidak mungkin sama bagi tiap pasangan suami istri, " jelas al ukh. 

"Ya, lagi-lagi ini tentang prioritas. Sebagaimana materi kita, bahwa ada prioritas soal kualitas dibanding dengan kuantitas. Ingat tidak bahwa Rasul membanggakan umatnya yang memiliki banyak keturunan? Nah, keturunan yang seperti apa? Tentunya keturunan yang bagus kualitasnya. Nah ini yang kadang menjadi dilema sebagian pasutri. Apakah mereka akan memperbanyak anak, tapi khawatir kalau tidak bisa menjadikan anak-anak mereka generasi unggul, atau mereka akan punya anak satu atau dua saja, supaya lebih mudah mengurusnya?"

Kami, menyimak dengan seksama. Empat orang dalam majelis ini sudah menikah, termasuk saya. Apalagi, salah satu dari kami sedang hamil, entah bulan ke-berapa. Maka,diskusi ini terasa memang kami butuhkan.

"Tapi kemudian, kembali pada pernyataan awal saya tadi, bahwa kita boleh berencana, tapi tetap, kita harus siap untuk menerima setiap perubahan rencana yang digariskan Allah pada kita", al ukh berkata dengan lebih menegas. 

"Kita melihat banyak pasutri yang alhamdulillah, dengan izin Allah beroleh anak lebih dari lima, dan beliau sanggup mengasuh dan mendidik anak dengan baik. Begitu pula banyak pasutri yang punya banyak anak, namun anak-anaknya tidak berhasil terdidik dengan baik. Ada juga yang punya anak hanya satu atau dua, dan semuanya berhasil berbakti pada orang tua. Ada yang anak satu-satunya justru hanya bisa menyakiti orang tuanya", ujar al ukh, menghela nafas sejenak. 

Dengan tempo diperlambat, perlahan dan tegas, beliau berucap lagi, "Ketika Allah memberikan amanah, yaitu berupa anak, maka pastilah Allah telah memberikan suatu optimalisasi kemampuan/potensi kita dalam mendidiknya menjadi anak-anak yang shaleh/shalehah. Pun, ketika sekian banyak anak diamanahkan, diberikanlah potensi yang berlipat-lipat."

"Masalahnya, " al ukh berhenti sejenak, menatap samar entah ke mana, "kita seringnya tidak mampu mengoptimalkan diri kita, meng-upgrade kemampuan kita, ilmu kita. Sehingga, sebelum amanah itu datang, persiapan nol. Potensi yang sudah diberikan Allah, tidak bisa keluar, karena ilmunya tidak kita punya. Maka tak jarang, pasutri kerepotan menghadapi anak-anak yang mereka anggap nakal, gagal didik. Apalagi kalau Allah memberikan anak yang lebih banyak. 

"Lupa, bahwa jika Allah telah memberi amanah, pastilah diberi bekalnya juga. Kitanya saja yang tidak mau belajar. Sehingga banyak keteteran. Lalu menyalahkan taqdirnya, kenapa saya mendapat anak sebanyak ini."

Al ukh kemudian mencoba sudut pandang yang berkebalikan, "Berbeda lagi dengan pasutri yang awalnya merencanakan ingin beroleh anak sekian banyak. Namun rupanya, berbulan dan hingga bertahun, tak juga dikaruniai. Apakah kemudian kita menyalahkan taqdir, kenapa Allah tidak adil? Begitu? Padahal, bisa jadi Allah justru adil. Karena pasutri tersebut memang belum saatnya mendapat amanah itu. Ada potensi kemampuan mendidik yang masih harus dipelajari. Ya, karena Allah tak ingin yang terjadi adalah bukan yang terbaik. Maka, semestinya, memang kita boleh berencana, tapi tetap, kita harus siap untuk menerima setiap perubahan rencana yang digariskan Allah pada kita."

Saya jadi ingat kisah seorang al ukh yang lain, dalam status yang di-update di facebooknya, "Mengapa sih, harus mencela. Bukankah rezeki berupa anak itu adalah hak mutlak dari Allah. Lalu kenapa masih saja ada yang mencela ketika seseorang melahirkan setahun sekali, banyak anaknya. Atau sebaliknya, masih juga mencela, ketika rupanya ada yang masih merindukan sosok kecil penyejuk hati di rumahnya, yang tak kunjung datang." dan dalam satu komen di status tersebut, beliau menyebutkan bahwa inilah yang pernah saya rasakan. Yaitu ketika bertahun merindukan kehadiran seorang anak, dan sekarang, dalam hampir tiga tahun saja, sudah hamil lagi anak yang ketiga. Allahu akbar. 

Saya selalu suka dengan pernyataan berikut, "Saya tidak tahu ini rahmat atau musibah, saya hanya berprasangka baik pada Allah Swt"

Karena lagi-lagi, kita tidak lebih tahu atas apa yang terjadi,. Maka tugas kita, berdoa, ikhtiar menjalankan amanah dan mengupayakan yang terbaik. Lalu tawakkal, serahkan sepenuh eksekusi pada Allah. Karena lagi-lagi, kita boleh berencana, tapi tetap, kita harus siap untuk menerima setiap perubahan rencana yang digariskan Allah pada kita. Selalu ada pilihan dari setiap situasi, dan selalu ada konsekuensi dari setiap keputusan. 

Wallahu alam

Sunday 4 November 2012

Berikanku Cinta yang Kau Titipkan

"Tuhanku... Berikanku cinta yang Kau titipkan... Bukan cinta yang pernah kutanam"
Saya suka dengan pernyataan di atas. Entahlah, mengapa. Apa mungkin karena hal itu yang semestinya kita pinta? Karena memang benar adanya dengan nurani, yang selalu membenarkan setiap kebaikan yang dilakukan, dan pasti gundah dengan kesalahan atau kebatilan diri? 

Semestinya, saya lebih berhati-hati dengan hati. Ini terkait dengan cinta.
Antara cinta yang Allah titipkan, atau cinta yang pernah saya tanamkan. Ketika cinta yang tumbuh adalah yang Allah titipkan, maka ia akan tumbuh pada saat yang tepat. Ia tumbuh bersama pahala yang berdatangan karena setiap perilaku atasnya adalah perintahNya. Ia akan menumbuhkan tunas-tunas baru berkualitas, karena keberkahan perjalanan menumbuhkan cinta itu. Ia akan senantiasa kekal, karena ia nya diserahkan pada sang Penjaga yang tak pernah Tidur.. Dan cinta itu akan berakhir di surgaNya, dengan izin dan ridhaNya...
Lalu bagaimana dengan cinta yang sebaliknya? cinta yang saya tanam? Pasti saya menanamnya pada saat yang tidak tepat, pada saat saya belum siap menanggung setiap konsekuensi atasnya. Ia pun tertanam pada orang yang tidak tepat. Belum tentu ia terpilihkan untuk saya. Atau kalaupun ia terpilihkan untuk saya, keberkahan pertumbuhannya akan terhambat, terganggu, atau bahkan rusak. Jika bukan ia yang terpilihkan, pastinya akan merusak cinta yang faktanya saya dapati. Bulatan cinta saya akan tergores, atau retak di tepi. Pun jika itu tak terjadi, saya tak bisa menjamin, akan mampu merawat hati saya pada seorang yang telah membersamai, kala saya bertatap kembali dengan cinta yang pernah saya tumbuhkan. 

"Ya Allah... Berikanku cinta yang Kau titipkan, bukan cinta yang pernah ku tanam. "

Bisa saja kemudian Kau berikan saya cinta yang saya tanam, yang pastinya saya inginkan dan harapkan . Tapi saya tahu, itu tak akan seindah jika Kau beri saya cinta yang Kau titipkan. Maka, bersihkan hati ini atas cinta-cinta yang telah, pernah, atau mungkin sedang saya tanam pada seorang atau dua orang di sana. Sucikanlah hati ini... Jagalah hati ini... Agar ia (hati) senantiasa siap menerima kedatangan cinta yang Kau titipkan, kapanpun itu. Meski harus menanti tiba masa nya, atau justru terkaget atas hadirnya tiba-tiba. Ya, agar ia (hati) siap menempuh kehidupan bersama (hati) pemilik cinta yang Kau titipkan. Agar ia nya siap meraih hikmah dari setiap suka duka yang pastinya saya akan jalani bersama cintanya. Dan nantinya saya merengkuh cintaMu bersamanya, cinta yang Kau titipkan untuk saya...

(sebagaimana telah di-posting di primary blog Si Mbak : cahayaembunfajar.blogspot.com)

Perjalanan "Menjemput Cinta"

Kata Murabbi, "Kita akan tetap berada pada sebuah ruang gelap, hingga kita kemudian mengetahui ia adalah si penyampai mahar itu"
Ya, ruang gelap. Betapa kita tidak pernah tau tiga hal; rezeki, jodoh, dan mati. Terkait berapa dan darimana datangnya rezeki kita; siapa dan kapan berlabuh cinta kita; dan kapan, dimana, dan bagaimana kematian menjemput kita.
Terkait jodoh, maka meski ia ada di pelupuk mata, tak akan sampai kita menemukan bayangnya. Pun, untuk sejoli yang telah menghabiskan waktu pacaran bertahun-tahun, sesungguhnya tak bisa menjamin bahwa si do'i adalah jodoh kita. Bahkan sebenarnya, untuk dia yang sudah menjadi suami/istri kita, belum tentu jodoh kita. Wallahu alam. Ini misteri. Allah yang tahu.

Lalu, bagaimana semestinya kita menjemput jodoh? Apakah dengan biro jodoh? Atau pacaran? Atau ikut acara televisi? Entahlah. Terserah saja. Tapi, agama kita yang sedemikian sempurna sudah pasti telah mengatur bagaimana tata caranya.
--------------------------------------------------------
Saya baru pertama kali itu mendengar namanya disebut, nama Si Mas.

Namun, entah kenapa, hati sedemikian yakin melanjutkan proses. Kuasa Allah yang membolak-balik hati. Esok paginya, langsung dari Otista saya menuju ke Bintaro. Pilihan tertuju pada P44, hingga turun di Ciledug, dan naik angkot menuju Bintaro. Langsung saya datang ke rumah murabbi, mengambil proposal dari seorang ikhwan.

Saya ingat sekali dengan percakapan kami malam itu, lewat telepon, "Win, ini saya udah dapat proposal dari ikhwan yang mau proses sama anti. Besok pagi bisa datang ke rumah ga? Tapi, besok saya mau ke rumah mertua pagi-pagi, jadi nanti kalau ternyata saya udah berangkat, proposal saya taruh di depan rumah ya!"

Saya, diam sejenak, mendengar kabar yang sedemikian cepatnya, yaitu sepekan sejak saya menyampaikan proposal sejenis. Mencoba mencerna apa yang sedang disampaikan oleh murabbi saya ini. Hingga lalu, sang murabbi tanya lagi, "Kamu ga pengen tahu namanya?"

"Eh?", saya kaget, "terserah Umi saja, apakah mau dikasih tahu namanya atau tidak."
"Oh. oke. Namanya, Nur Syamsudin. Kenal ga, Win?", tanya umi lagi.

Saya yang mendengar nama itu (untuk yang pertama kalinya) menjawab pertanyaan dengan perlahan, sembari mengatur hati, "Saya ga kenal, Umi."

"Lho, koq ga kenal? Katanya, yang suka membantu-bantu di RQ." umi seakan tidak percaya
"Iya, Umi. Ga kenal. Baru tahu ini," saya menegaskan.
"Oh ya udah. Hehe... Pas saya baca proposalnya, bener-bener mirip ama proposalmu lho, Win!"
"Ah? Masak sih, Umi? Mirip gimana?" tanyaku
"Iya, cara ngomongnya. Beliau juga suka nulis. Ada blognya. Ntar saya kasih alamatnya deh. Bedanya itu, kalau beliau menjabarkan sesuatu dengan sesuatu, jadi harus mikir dulu. Kalau kamu, menjabarkannya dengan lugas, apa yang dimaksud, ga perlu mikir-mikir dua kali."

Saya, menyimak. Masih mengatur hati.

"Ya udah win, besok ambil proposalnya ke rumah ya. Insya Allah saya akan mendampingimu dalam proses ini.", kata Umi, menentramkan. Saya haru dibuatnya.

Malam itu, saya memastikan bahwa hati saya condong untuk melanjutkan proses. Terlepas bahwa saya baru sekali itu mengetahui namanya. Lagi-lagi, mungkin ini jawaban dari Allah. Benarlah, bertanyalah pada Allah, sandarkan semua pada Allah. Melalui ketaqwaan. Kemudian, istikharah, adalah saat di mana kita berani menerima keputusan Allah. Keputusan apakah istikharah kita dijawab; Keputusan jawaban apa yang akan diberikan; Keputusan apakah jawaban Allah adalah sesuai dengan ingin kita, atau tidak.

"Win, kalau memang tidak ada hal-hal syar'i yang signifikan, teruskanlah prosesnya." pesan murabbiku lagi.

Ya, setidaknya, karena melihat pengalaman bahwa seringnya, akhwat dan ikhwan mempunyai kriteria yang sangat ribet untuk pasangan pilihannya. Hal ini kadang justru mempersulit dirinya sendiri dalam menjemput jodoh. Yang pertama, karena tidak ada manusia yang sempurna; yang kedua, karena bisa jadi kita sebenarnya tidak lebih tau karakter pendamping seperti apa yang kita harapkan. Maka, berpikirlah sederhana, simpel. Tidak perlu banyak syarat. Selama syarat utama dipenuhi, yang lain bisa disesuaikan. Syarat utama misalnya Islam; Berorientasi Dakwah. Dan hal yang paling penting adalah komunikasi kepada orang tua. Karena tidak jarang, proses itu gagal karena ketidaksepakatan dari orang tua. Entah karena kaget tiba-tiba ada yang melamar; atau meragukan kemampuan si anak dalam menyempurna dien; atau yang lebih parah jika masih berpegang pada mitos-mitos kejawen.

Oke, balik lagi ke kisah. 
Senja hari berikutnya, kami ta'aruf. Cepat? Ya. Usai mengambil proposal dari rumah umi yang ternyata sudah berangkat ke rumah mertua beliau, saya langsung membaca di tempat. Membaca apa yang tertulis di proposal, secara cepat. Sambil sesekali tersenyum, menyadar bahwa benar apa yang dikatakan umi. Bahwa membaca proposal ini seolah membaca milik saya. Banyak kemiripan sifat, dan kecenderungan. Halaman terakhir, ada foto beliau. Dan lagi-lagi, saya tersenyum. Kali ini entah mengapa. Mungkin, tersenyum karena sama sekali tak pernah melihat siapa yang biodatanya ada di tangan saya. Dan juga tersenyum karena merasa ada kemiripan, pun di fotonya. *ups, jaga hati, proses masih panjang. 

Saya beranjak dari rumah umi menuju Masjid Baitul Maal (sebelumnya, liqa dulu). Masjid yang teramat punya sejarah besar untukku. Mengawal dan mengakhiri perjalanan di kampus, adalah bersama masjid ini. Pun perjuangan selama ini, lebih banyak dengannya. Meski saya tidak banyak berkontribusi, saya sangat bersyukur, banyak ilmu dan pengalaman yang saya dapatkan dari masjid ini. Termasuk, alangkah tenang dan sejuknya berdiam sejenak dari aktivitas di lantai 2 masjid. Sehingga kemudian membuat saya menyelesaikan penulisan proposal di masjid ini pula. Berharap berkah. Maka, saya sejenak ingin pula menghampiri rumah Allah ini. 

Alhamdulillah, sepi. Ini yang kusuka. Bisa menyendiri. Saya menunaikan beberapa rakaat shalat sunnah. Lalu berdoa sembari menyampaikan proposal ikhwan itu, "Ya Allah, ini ada proposal, dari seorang ikhwan. Engkau yang lebih tahu yang terbaik untukku. Jika kelanjutan proses ini membawa kebaikan bagi agama kami, bagi kehidupan kami, bagi akhirat kami, maka mudahkanlah prosesnya, Ya Allah"

Lalu, lagi, kutunaikan beberapa rakaat shalat sunnah. Kali ini, kembali bermunajat meyakin, "Ya Allah, tidak ada hal syar'i yang dapat menjadi satu dua alasan saya menolak proposal ini. Maka, mohon mudahkan ya Allah"

Saya langsung mengambil Hp. Allah yang memberi keyakinan, membolak-balik hati. Maka, sore itu, saya mengirimkan sms ke umi, "Umi, insyaAllah tidak ada yang membuat saya tidak melanjutkan proses ini, maka insyaAllah saya akan lanjut"

Mungkin ada yang bertanya, bagaimana dengan orang tua? Ya, beberapa saat dalam perjalanan menuju Masjid Baitul Maal, saya menelepon Bapak. Menyampaikan, bahwa ada seorang lelaki yang bermaksud untuk berproses menuju pernikahan. Maka, suatu kesyukuran bagi saya adalah bahwa Bapak menyambut bahagia. Begitupun kakakku, juga sangat mendukung. Maka, perlu komunikasi. Jika menjadi pembuka (alias belum ada anggota keluarga menggunakan syariat islam dalam proses menikah) semestinya memang proses komunikasi dilakukan sejak jauh hari. Bahkan, sebelum ada seorang ikhwan yang mengajukan proposal. 

Malam itu, umi langsung menawarkan, membalas sms yang saya kirimkan, "Oke, berarti besok siap ta'aruf ya?"

Ha? Kaget. Bahkan, saya pikir, masih akan ta'aruf pekan depan. Rupanya, langsung ditembak untuk ta'aruf keesokan harinya. Baiklah. 

Malam yang menegangkan untuk saya. Sementara al ikhwan bahkan belum tahu bahwa besok sore akan ada proses ta'aruf. Malam itu saya tetap melaksanakan shalat istikharah. Memohon keyakinan pada Allah. Memohon kesiapan terbaik. 

Waktu ta'aruf nya masih belum pasti. Menunggu kedatangan Umi. Bahkan umi sempat bilang kalau beliau tidak bisa menemani, dan akan diwakilkan kepada ummahat yang lain. Namun, akhirnya, umi mengupayakan untuk bisa hadir. Sehingga waktu ta'aruf nya menyesuaikan kedatangan umi. 

"Kalau sore gimana, win? Besok kerja langsung dari bintaro aja, ga papa?" tawaran dari umi. 

Awalnya, saya sedikit keberatan. Akan sulit berangkat dari bintaro kalau naik kendaraan umum. Maka, Alhamdulillah, Allah membersamakan saya dengan Ukh Naa. Beliau membawa motor. Maka, mau tidak mau, beliau adalah temen yang pertama mengetahui proses ini. Senin pagi saya bisa berangkat naik motor ke Lapangan Banteng bersama Ukh Naa.

Al Ikhwan baru mengetahui acara ta'aruf adalah pagi harinya. Ya, pagi hari pada hari ta'aruf. Wallahu alam hingga kemudian Allah menyiapkan beliau. 

Sore itu, di majelis itu, di rumah murabbi saya. Saya duduk berdampingan dengan umi. Sedangkan al ikhwan bersama suami umi dan murabbi ikhwan, di seberang hijab. 

Proses ta'aruf bisa menjadi proses yang simpel, atau bisa menjadi proses yang beribet. Banyak tipenya. Ada yang menyiapkan sekian list pertanyaan, hingga memakan waktu berjam-jam. Atau ada juga yang tidak menyiapkan pertanyaan sama sekali, sehingga hanya berlangsung kurang dari satu jam. 

"Ini gimana ya, koq jadi sepi. Malah kita yang banyak ngomong ya?", ujar murabbi.

Hehe.. dan kami, adalah contoh yang kedua. Entah karena terlalu cepat pemberitahuan proses ta'aruf, atau karena cukup dengan membaca proposal kami sudah bisa saling mengenal, dan tak perlu lagi ada pertanyaan. Begitu, seperti pesan dari murabbi al ikhwan, "Pertanyaannya yang kamu anggap kurang jelas di proposal aja. Untuk hal lain kehidupan nantinya, insyaAllah bisa dibahas lebih lanjut nanti setelah menikah"

Well.. Tak perlu waktu lama. Kesepakatan berikutnya adalah menentukan tanggal khitbah, orang tua ikhwan datang ke rumah saya. Dan, tanggal 23 Juni menjadi pilihan, tiga pekan sejak hari itu (3 Juni 2012). Sebenarnya murabbi ingin lebih cepat. Namun, sayangnya, pekan berikutnya saya harus diklat "Motivation Building" di kawasan hutan di Megamendung. Maka baru bisa pekan berikutnya. 

Khitbah. Ia menjadi suatu kunci bagi sang akhwat untuk tidak menerima pinangan dari lelaki lain, dan juga bagi ikhwan untuk tidak meminang wanita lain. Khitbah sederhana saja. Cukup pernyataan dari pihak lelaki terkait niatnya meminang wanita. Tidak perlu ada ritual khusus, seperti tukar cincin, dsb. 

Pada tanggal khitbah itu, juga disepakati tanggal pernikahan. Mengingat waktu itu adalah bulan sya'ban (akhir), dan sebentar lagi adalah ramadhan juga. Maka, termasuk pertimbangan persiapan dana dan sebagainya, tanggal akad nikah disepakati tanggal 2 September 2012. Jika dihitung sejak ta'aruf, kurang lebih ada 3 bulan waktu yang dibutuhkan. 

Tiga bulan bukan waktu yang singkat. Lama, terutama dalam hal penjagaan hati. Namun, alhamdulillah, waktu yang ada, insyaAllah sangatlah cukup untuk mempersiapkan ilmu dan ruhiyah. Waktu-waktu itu adalah sangat sensitif. Akan banyak prasangka, ketakutan, kekhawatiran. Maka, banyak-banyaklah berdekat dengan Allah. Serahkan semuanya pada Allah. Toh, kita tak bisa berbuat apa-apa jika Allah telah berkehendak. 

Komunikasi kami selama ini dilakukan melalui email. Kenapa tidak lewat telepon? Hanya khawatir mengganggu hati. Tak mengapa. :)

Oke, alhamdulillah. Benarlah apa yang disampaikan dalam hadits, salah satu dari tiga orang yang akan mendapat pertolongan Allah adalah seorang yang menikah. Maka, segala keperluan, terutama permasalahan dana, tercukupi, dengan caraNya yang tak terduga. Rezeki datang dari arah yang tiada disangka. Hanya Allah yang berkuasa atasnya. 

Maka, tanggal itu, 2 September 2012, kami menyempurna separo dien. Melalui sederhananya kalimat akad, dan khusyu' nya lelangit yang memandang syahdu. Semoga berkah. 

Dan berikutnya, kami bersiap mengiring jalan penuh uji dari Illahi. Uji bahagia, uji tangis tawa. Semuanya. Mohon doanya, semoga berkah. 

Saya ingat pesan dari guru ngaji, "Semakin cepat, semakin baik. Semakin berkah, insyaAllah"
--------------------------------------------------------------
Saya sempurnakan postingan ini, dengan tulisan beberapa hari setelah akad terucap (dari primary blog : cahayaembunfajar.blogspot.com)
--------------------------------------------------------------
Hari bahagia kini tiba
Pelaminan jadi saksi
Kau dan Aku tlah bersanding
Dalam ikatan yang suci
Selaksa cinta tumbuh bergelora
Anugerah pencipta
Karena saat cahaya memuncak, bersama sang mentari melaksa-i bumi, ia terdengar. Menggaung mengalun. lembut mendayu, tegas menepas. Lalu satu dua kalimat terucap. Panjang terdengar, tanpa jeda, juga koma. Seakan tak ragu, ujung penantian telah tiba

Terucap mesra, bersama persembahan dari pencipta langit semesta, ayat indah-Nya. Lalu terputuskan sudah, bahwa ia telah halal. Untukmu, untukku. Aku dan kamu. Atau siapa yang hari itu namanya tertulis beroleh dampingan jiwa.
Berpadu asa dalam janji
Alam pun ikut berseri
Hati trus berucap rasa
Syukur yang tiada terkira
Bertasbih memuji kuasa Ilahi
Sang pemilik cinta 
Gerimis itu pun membasahkan. Setidaknya, tak membiarkan lekuk lesung kering tanpa bekas air. Semoga itu pertanda syukur. Pertanda takut. Syukur atas nikmat yang besar, anugrah terindah beroleh tautan hati. Takut, atas janji yang telah terucap, "bahwa aku akan menjadi pemimpin-mu, imam-mu. Maka, aku tanggung pula dosamu. Maka, aku pula-lah, surga (atau) neraka-mu.." 

Lalu semesta berdendang. Beriring awan yang memutih meneduhkan. Lihat saja kicau alam tak jua berhenti, hingga satu persatu rekan menghaturkan doa keberkahan.
Sujud syukur atas karunia,
penantian ini berujung sudah
Demi pemilik jiwaku ini,
kujaga sepenuh cinta hingga akhir nanti
Dua September Dua Ribu Dua Belas -kali ketiga (atau ke-empat pertemuan kami)-
Terucaplah sudah. Ter-halal-kan-nya sudah, keduanya. 
Dua "cahaya" kini bebas bersua. Bercanda mesra. Karena itu pahala. 
Dua "cahaya" kini bebas bertatap. Berevaluasi berdua. Tak khawatir syetan menjadi yang ketiga. 
Dua "cahaya" kini bebas berkolaborasi, menata aksi penuh prestasi. Meski tertatih, tapi langkah itu pasti. Semoga terus pertahankan visi hingga di penghujung nanti. 
Kalian bertemu dalam dakwah, maka semestinya demikian untuk berikutnya. Menjadi barisan-barisan pendukung dakwah. bukan sekedar ikut kajian pekanan (saja), melainkan bagaimana kalian dibutuhkan oleh dakwah. Supaya bisa istiqamah, tetaplah berjalan dengan amanah-amanah dakwah. Dengan begitu, kalian akan terjaga dalam dakwah. banyak yang akhirnya limbung, banyak yang putus. Maka semestinya tidak untuk kalian. Kalian bertemu dengan proses yang benar, maka saya yakin ke depan akan demikian pula, selama kalian tidak lalai, tidak lengah. Aturlah waktu. Waktu untuk pekerjaan, untuk dakwah, dan untuk keluarga. Sehingga semua berjalan beriring tidak saling mengacaukan. Suami adalah murabbi pertama istri, yang pertama wajib membimbing, mendidik. Bukan lagi murabbiyyah sang istri. Salinglah menjaga satu sama lain, mengingatkan. Penerimaan yang penuh ikhlas di antara keduanya, atas kekurangan pasangan akan membuat kalian istiqamah. Maka, saya berharap, dua potensi dakwah yang telah dipertemukan dan disatukan dalam dakwah, dengan tujuan dakwah ini, mampu melejitkan energi yang luar biasa untuk pergerakan dakwah ini 
(Pondok Safari, 23 September 2012, pk. 16.00-17.40, oleh Bp. T.A.S)
Dan subhanallah.. 
Ketika separuh dien telah tersempurnakan dengan pernikahan, maka mari kita sempurnakan separuh lainnya dengan ketaqwaan kepada Allah.

Friday 2 November 2012

Optimalisasi Peran Ganda Wanita Bekerja

Mungkin ini adalah kondisi yang kita alami. Menjadi seorang ibu rumah tangga yang sekaligus bekerja di luar rumah. Alasannya beraneka ragam. Mulai dari kebutuhan yang memaksanya turut bekerja, sampai karena tidak tahan kalau hanya diam saja di rumah. Tidak masalah sebenarnya. Ini adalah pilihan. Seorang wanita berhak memilih akan berperan menjadi ibu rumah tangga (saja), atau sekaligus beraktivitas di luar. Namun sayangnya, sangat sering ditemukan kendala dan masalah. Tidak saja berakibat pada sang wanita, melainkan juga pada keluarganya.Hal inilah mengapa kita harus mengerti bagaimana mengoptimalkan peran wanita, sehingga pilihan yang diambil berjalan lancar, dan tidak da yang dirugikan.
Pahami rambu keluar rumah
Ini poin pertama. Mengapa demikian? Karena wanita berpeluang besar menjadi fitnahbagi laki-laki. Maka, sudah seharusnya mengerti aturan saat keluar rumah. 

Apa saja aturan yang harus ditaati seorang wanita ketika keluar rumah?
  1. Pahami bahwa bekerja atau beraktivitas di luar rumah adalah boleh, selama mendapat izin dari suami. “Dan tinggal-lah kalian (para wanita) di rumah-rumah kalian.” (QS. Al Ahzab [33]: 33). Tentang ayat ini, Ibnu Katsir berkata, “Ayat ini menunjukkan bahwa wanita tidak boleh keluar rumah kecuali ada kebutuhan.” (Tafsir Al Quran Al Adzim 6/408). Dengan demikian, wanita tidak boleh keluar rumah melainkan untuk urusan yang penting atau termasuk kebutuhan seperti memasak dan lain-lain. Jika bukan urusan tersebut, maka seorang istri tidak boleh keluar rumah melainkan dengan izin suaminya.
  2. Jagalah aurat dan pergaulan ketika di luar rumah. “Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, putri-putrimu, dan kepada wanita-wanitanya orang-orang yang beriman: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbab mereka di atas tubuh mereka…’.” (Al-Ahzab: 59) 
Pekerjaan harus sesuai dengan kemaslahatan sosial
Adanya saling paham antara suami dan istri, sehingga keluarnya istri memberikan kemaslahatan bagi keluarga tersebut
Prioritas tetap pada pendidikan dan perawatan anak-anak
Komitmen dengan rambu-rambu bagi akhlaq suami istri

Hanya Menanti Kesiapan

merenung
Bukan tak mengabulkan, hanya menunggu kesiapan. Kesiapan siapa? Kesiapan kita menerima terkabulnya harapan. Siap syukur jika sesuai ingin, siap sabar jika tak sesuai ingin. Dan yang pasti, siap menerima segala konsekuensi yang pasti akan membersamai setiap pengabulan. Konsekuensi syukur, dan konsekuensi sabar. Jadi, apakah kau sudah siap?
Ya, dan Allah lebih tahu. Allah lebih paham.
Bukan tak mengabulkan, hanya menunggu kesiapan. Kesiapan siapa? Kesiapan seorang anak sekolah untuk menjadi seorang mahasiswa. Kadang susah, sulit, ribet, harus ujian dan sebagainya. Banyak yang tidak berhasil. Lagi, hanya menunggu kesiapan.   Kesiapan menjadi seorang mahasiswa. Kesiapan lulus di PTN A, B, C; PTS D, E, F; atau PTK. Kesiapan untuk bersyukur, bukan takabur. Kesiapan untuk menabung, bukan menghambur. Kesiapan berjuang, bukan kalah perang. Karena medan kampus tak semulus sekolah menengah. Karena medan kampus tak sepolos medan di sekolah. Ia belum siap konsekuensi.
Bukan tak mengabulkan, hanya menunggu kesiapan. Kesiapan siapa? Kesiapan seorang gadis alumni sarjana. Menenteng stopmap kesana kemari. Berbincang wawancara ini dan itu. Menata hati dan degup setiap penyampaian keputusan. Dan mungkin dia belum siap. Belum siap bersyukur atas kerjaannya nanti. Hingga yang ada, bukan penambahan kualitas diri, malah kelalaian karena gaji telah pasti. Hingga yang ada, bukan tambah merengkuh dekat pada Illahi, malah mencaci kalau panggilan-Nya mengingati. Hingga yang ada, haram halal tak dirasa berbatas, langsung lahap tak tebang pilih. Ah, hingga yang ada, bukan kebaikan, malah kesengsaraan.Ia belum siap konsekuensi.
Bukan tak mengabulkan, hanya menunggu kesiapan. Kesiapan siapa? Kesiapan seorang gadis dewasa, telah bekerja dan bergaji raya. Namun, menanti sang kekasih hati tak jua menyapa. Di mana oh di mana. Ke mana lagi ke mana. Tak mengerti, padahal doa telah pasti. Ya, mungkin hanya menunggu ia bersiap sabar. Ya, siap sabar. Karena berumah tangga tak sederhana. Butuh mental dan ilmu nyata. Tak melulu bahagia, namun sedih pasti ada. Kecewa, bisa jadi biasa. Belum lagi, harus saling mengerti. Pemahaman yang tak bisa diperoleh singkat. Butuh waktu, pemikiran serta tenaga. Ya, biarlah. Tak apa. Mungkin ia memang belum siap dengan konsekuensi yang ada.
Bukan tak mengabulkan, hanya menunggu kesiapan. Kesiapan siapa? Kesiapan seorang istri tuk berganti status menjadi ibu. Menanti sekian tahun tak jua diberi. Mengusaha sekian waktu, janin belum juga terdeteksi. Hm. Mungkin, memang hanya butuh waktu. Menunggu hingga sang istri siap. Karena tugas ibu tak ringan. Karena ilmu yang dipersiapkan tak hanya penjumlahan pembagian. Ada banyak kecakapan harus dipersiapkan. Ada banyak ilmu harus dimatangkan. Belum lagi, si bakal calon ibu itu masih belum sepenuhnya paham tentang kewajibannya sebagai seorang istri, apalagi nanti saat status ibu di tangan. Biarlah waktu diberi untuk ia menyiap diri. Ya, karena akan sangat banyak konsekuensi dan tanggung jawab dalam mendidik generasi terbaik. Dan ia, harus bersiap.
Bukan tak mengabulkan, hanya menunggu kesiapan. Kesiapan siapa? Kesiapan siapa-pun, yang telah berani bermimpi, berdoa, dan berikhtiar. Ingat, hanya untuk yang berani bermimpi, berdoa, dan berikhtiar. Kesiapan ia menerima terkabulnya mimpi yang telah di-doa dan di-ikhtiar-i. Siap syukur jika sesuai mimpi, siap sabar jika tak sesua ingin. Dan yang pasti, siap menerima segala konsekuensi yang pasti akan membersamai setiap pengabulan. Konsekuensi syukur, dan konsekuensi sabar. Jadi, apakah kau sudah siap?
Ya, dan Allah lebih tahu. Allah lebih paham. Bahwa mungkin, kita belum siap menerima konsekuensi. Maka saatnya berpikir, belajar lebih rajin, menyiap lebih tegap. Hingga akhirnya, pengabulan akan dibersamaan dengan kedewasaan bersikap. Menerima konsekuensi dengan mantap. dan lihatlah, Allah memang lebih mengenal makhluk yang diciptakan-Nya. Hanya syukur dan sabar, senjata kita. dan Tawakkal berserah, pemanisnya.
Dari Suhaib r.a., bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Sungguh menakjubkan perkaranya orang yang beriman, karena segala urusannya adalah baik baginya. Dan hal yang demikian itu tidak akan terdapat kecuali hanya pada orang mukmin; yaitu jika ia mendapatkan kebahagiaan, ia bersyukur, karena (ia mengetahui) bahwa hal tersebut merupakan yang terbaik untuknya. Dan jika ia tertimpa musibah, ia bersabar, karena (ia mengetahui) bahwa hal tersebut merupakan hal terbaik bagi dirinya.” (HR. Muslim)
-----------------------------------------------------
Tulisan ini ditujukan untuk rekan-rekan yang sedang kecewa tidak beroleh mimpinya; untuk para wanita yang tengah berputus asa menanti jodohnya; untuk para istri yang berpasrah menanti sang janin tercipta; dan bagi siapapun, yang mimpi dan doa belum diiring pengabulan atasnya. 
Diriwayatkan oleh Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad, Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya Allah itu pemalu dan murah hati. Apabila ada seorang hamba mengangkat kedua tangannya memohon sesuatu kepadaNya, Allah malu untuk menolaknya sehingga dia pulang dengan tangan kosong dan sia-sia."
Bukankah tiada doa disampaikan, kecuali tiga: beroleh pengabulan langsung; beroleh penundaan pengabulan; beroleh yang lebih baik dari yang diminta; beroleh pengampunan; atau beroleh surga sebagai pengabulan. 
Wallahu alam  

Thursday 1 November 2012

Rumahku, Surgaku

rumahku, surgaku
Bukan surga, tapi serambinya
Rumahku hanyalah sebentuk bait
tempatnya melabuh rindu, membagi tawa dan pangkuan,
lalu wewangian surga semilir bersama tahmid
tempat menegak malam dengan zikir
menggigil dan tangis pertobatan
rumahku adalah rasa aman dalam genggam jemari Ar-Rahman
rumahku adalah juga derak kekhawatiran
agar tiada lena dalam fana
rumahkulah kutub yang mendamai hati dan sesenyum rasa
"Masuklah, berselimut, rehat!"
terkadang ia mentari yang menyala, menegur hati dan menggerak
"Keluarlah, dakwah, jihad!"
rumahku perhentian,
tempat iman diperbarui dan ruh diisi ulang
lalu aku harus keluar membukti amalan
rumahku, menawan tenteram, menggerak bandang
rumahku mungkin bukan surga, tapi insya Allah, serambinya
(kutipan dari Bahagianya Merayakan Cinta, oleh Ust. Salim A. Fillah)
Indah bukan, konsep rumah tersebut? Berharap, kita bisa mempersiapkannya. Menguatkannya. Meng-ilmu-i-nya. Memantapkannya. Dan kemudian, mengamalkannya.

Bahwa rumah adalah perhentian sementara, yang akan menghantar kita kepada kekuatan, atau sebaliknya kelengahan.
Bahwa rumah adalah penentu, yang akan memutus kita kepada kebermanfaatan, atau sebaliknya keegoisan
Bahwa rumah adalah penyeru, yang akan mengajak kita kepada kebaikan, atau kemudharatan
Bahwa rumah adalah penyegera, yang akan menyemangat kepada amal, atau melena kepada keterlalaian

Ah, rumahku surgaku... Atau sebaliknya, rumahku nerakaku? -naudzubillah-
Rumahku penghantar kepada surgaku,... atau...?

Berharap, rumah adalah pembangun jiwa, bersama impian yang kan ber-ujud nyata. Melalui tempelan berderet rapi pada dinding penyemangat di setiap sudutnya. Ah, indah. Bahkan bilik jendela membawakan rindu akan ketercapaian visi kehidupan. Bahkan pintu menjadi selaksa doa kala melewat menyeberangnya. Lalu tiap perabot menjadi sarana. Penyambung rekat setiap langkah supaya tercapai cita dengan cepat, dan tepat.

Berharap, rumah adalah lahan pen-tarbiyah. Ia menjadi yang pertama mendidik. Ia menjadi yang utama membina. Karena pengajaran di dalamnya, tak pernah tergantikan. Ianya harus mengawal. Menanam akhlaq dan iman yang mendasar. Hingga masukan selanjutnya menjadi mantap, dasar yang kokoh pencapai lahirnya generasi teladan.

Ah, indah. Karena tiap detik paginya, adalah nasehat tersampai kepada sang anak. Karena tiap dhuhanya, ada pengingat bertaubat pada Rabb pemberi nikmat yang sering terlalaikan. Karena tiap siang yang berdatang dalam dhuhur mengalun adzan, ada dahaga yang tersegar dengan mata air tercurah dalam senda tawa peringan beban kejenuhan. Karena tiap ashar mengambang, ada dzikir tersurat dalam al ma'tsurat pelabuh doa. Karena tiap senja berhadir, ada khusyu, bahwa Allah telah mengampun dosa, dan menerima lapang tiap amal harian. Karena tiap isya berkumandang, ada kebersamaan dengan penyejuk mata, qurrata a'yun. Dan karena tiap sepertiga malam-nya, tersampai ayat suci indah, bergerak berderek menuju langit mengangkasa, menggetarkan arsy, membawa nada taubat dan permintaan hamba dengan jaminan pengijabahan.

Ya, rumahku surgaku. Pengantar menuju kematian yang pasti adanya. Pembekal untuk meraih kebaikan di akhirnya. Khusnul khatimah. Lalu tenang bersemai lentera di alam kubur. Hingga bahagia di surgaNya.

(tulisan ini telah di-posting dalam primary blog Si Mbak, di cahayaembunfajar.blogspot.com)