Padahal, Allah telah menutup aib kita dengan baik. Namun, justru terkadang
kita lah yang mengumbarnya ke khalayak. Apalagi dengan sosial media yang telah
menjadi santapan sehari-hari. Allah telah menetapkan syariat dengan begitu
sempurna. Termasuk tentang pernikahan. Bahwa, "rahasiakan pinangan,
umumkanlah pernikahan"*. Lagi-lagi untuk menjaga diri (terutama si wanita)
dari fitnah yang mungkin terjadi di kemudian hari, atas suatu kondisi yang kita
tak bisa memberikan jaminan apa-apa.
Padahal, Allah telah menutup aib kita dengan baik. Namun, justru terkadang
kita lah yang mengumbarnya ke khalayak. Bahwa sedang berduaan dengan pacar, sms
rindu bermesraan dengan seorang yang belum halal untuknya, berkhalwat, saling
menggenggam, berpandangan, dan sebagainya. Dinding facebook dan timeline
twitter penuh. Dengan ringannya disampaikan kepada khalayak. Mungkin, dianggap
sebagai kebanggaan, pamer, atau sejenisnya. Entahlah. Sayangnya, tidak banyak
yang mengamalkan ilmu yang mungkin sudah diketahui (apalagi yang tidak tahu),
bahwa berkhalwat dan bermesra dengan lawan jenis bukanlah suatu 'aktivitas'
yang membuah berkah, melainkan justru semakin mengurangi keberkahan. Semakin
lama proses itu terjadi, sebelum menjadi halal, maka semakin banyak saldo
berkah yang berkurang. Dan padahal, Allah telah menutup aibnya itu, memberi
kesempatan menyegera proses ke-halal-an, tanpa diketahui 'aktivitas tak halal'
yang telah dilakukannya selama ini.
Padahal, Allah telah menutub aib kita dengan baik. Namun, justru terkadang
kita lah yang mengumbarnya ke khalayak. Bahwa tak mengapa sih, saya pikir,
wajar, ketika seorang wanita berada dalam masa menanti. Menanti sesiapa yang
akan menjemput meminangnya. Wajar juga, ketika seorang pria berada dalam masa
menunggu, menunggu sesiapa yang dirasa pantas tuk dipinangnya. Namun, alangkah
cantiknya, ketika itu terbungkus (saja) dalam doa. Doa dalam derai air mata, di
tengah gelap malam khusyu'. Dalam tenang, memohon pertemuan indah dengan
belahan jiwa. Bukan diumbar dalam kata dan kalimat "pengharapan" yang
bukan ditujukan pada Allah, tapi terkesan, pengharapan pada manusia.Kegalauan yang tak bertepi.
Padahal, Allah telah menutup aib kita dengan baik. Namun, justru terkadang
kita lah yang mengumbarnya ke khalayak. Bahwa tidak boleh seorang istri
mengumbar aib suami kepada orang lain. Mengumbar kesalahan, kegagalan dalam
keluarganya, kepada orang lain. Bukan untuk mencari solusi, tapi hanya niat
mengeluh. Buktinya, disampaikan ke tempat umum. Bukan sendiri sembunyi meminta
nasehat pada yang ahli, malah diumbar tak mengarah, hingga justru tambah parah.
Padahal, Allah telah menutup aib kita dengan baik. Namun, justru terkadang
kita lah yang mengumbarnya ke khalayak. Perilaku anak yang kita rasa tak
pantas, bukannya diikat dengan nasehat, malah disumbar koar-koar. Ke tetangga kanan
kiri, kompleks depan kompleks belakang. Niatnya sih, mencari solusi, mungkin
ada yang punya pengalaman sama. Tapi jatuhnya pada keluh. bahkan menjadi doa
yang didengar dan diamini oleh yang dikisahi. Jika perkataan kita kepada
anak saja adalah doa, apalagi, ditambah diamini orang lain.
Padahal, Allah telah menutup aib kita dengan baik. Namun, justru terkadang
kita lah yang mengumbarnya ke khalayak.
Di atas, hanya sebagian. Bahwa masih banyak yang mendapati hal serupa. Di
banyak aspek. Seringnya lupa, bahwa aib tak boleh disebar. Seringnya lupa,
bahwa kata bisa menjadi doa. Seringnya lupa, bahwa Allah melarangnya.
Padahal, Allah telah menutup aib kita dengan baik. Namun, justru terkadang
kita lah yang mengumbarnya ke khalayak.
Berhati-hatilah berucap. Berhati-hatilah berkicau..
Banyak bicara, banyak peluang salah
Meski bisa jadi juga, peluang kebaikan juga makin banyak
Maka semua butuh ilmu. Agar yang tersampai tak mubadzir. Agar yang tersampai
tak mendzalimi. Agar yang tersampai tak menyakiti. Dan agar yang tersampai, tak
mengumbar aib. Karena Allah, sangat menyayang diri. Ditutupnya aib hingga bisa
jadi, diri nampak lebih daripada yang sesungguhnya. Ditutupnya aib, hingga bisa
jadi, orang masih mau mendengar apa yang kita sampaikan. Ditutupnya aib, karena
Allah mengingin, kita membaik tanpa didatang cela tak laik.
Maka, semua butuh ilmu.
Dan karena sedikitnya ilmu saya, dan agar tak menyakit
pula mubadzir, saya sudahi saja kicauan ini. Hanya rehat, mungkin renungan.
Khususnya buat diri, dan mungkin yang merasa teringati. Semoga tak ada yang
terdzalimi. Maafkan saya yang tiada santun ini. Trimakasih.. :D
*H.R Ibnu Hibban [1285], Ath Thabrani [I:1/69], dan lainnya
0 comments:
Post a Comment