Thursday 1 November 2012

Menjaga Aib Diri/Keluarga


Padahal, Allah telah menutup aib kita dengan baik. Namun, justru terkadang kita lah yang mengumbarnya ke khalayak. Apalagi dengan sosial media yang telah menjadi santapan sehari-hari. Allah telah menetapkan syariat dengan begitu sempurna. Termasuk tentang pernikahan. Bahwa, "rahasiakan pinangan, umumkanlah pernikahan"*. Lagi-lagi untuk menjaga diri (terutama si wanita) dari fitnah yang mungkin terjadi di kemudian hari, atas suatu kondisi yang kita tak bisa memberikan jaminan apa-apa.


Padahal, Allah telah menutup aib kita dengan baik. Namun, justru terkadang kita lah yang mengumbarnya ke khalayak. Bahwa sedang berduaan dengan pacar, sms rindu bermesraan dengan seorang yang belum halal untuknya, berkhalwat, saling menggenggam, berpandangan, dan sebagainya. Dinding facebook dan timeline twitter penuh. Dengan ringannya disampaikan kepada khalayak. Mungkin, dianggap sebagai kebanggaan, pamer, atau sejenisnya. Entahlah. Sayangnya, tidak banyak yang mengamalkan ilmu yang mungkin sudah diketahui (apalagi yang tidak tahu), bahwa berkhalwat dan bermesra dengan lawan jenis bukanlah suatu 'aktivitas' yang membuah berkah, melainkan justru semakin mengurangi keberkahan. Semakin lama proses itu terjadi, sebelum menjadi halal, maka semakin banyak saldo berkah yang berkurang. Dan padahal, Allah telah menutup aibnya itu, memberi kesempatan menyegera proses ke-halal-an, tanpa diketahui 'aktivitas tak halal' yang telah dilakukannya selama ini.

Padahal, Allah telah menutub aib kita dengan baik. Namun, justru terkadang kita lah yang mengumbarnya ke khalayak. Bahwa tak mengapa sih, saya pikir, wajar, ketika seorang wanita berada dalam masa menanti. Menanti sesiapa yang akan menjemput meminangnya. Wajar juga, ketika seorang pria berada dalam masa menunggu, menunggu sesiapa yang dirasa pantas tuk dipinangnya. Namun, alangkah cantiknya, ketika itu terbungkus (saja) dalam doa. Doa dalam derai air mata, di tengah gelap malam khusyu'. Dalam tenang, memohon pertemuan indah dengan belahan jiwa. Bukan diumbar dalam kata dan kalimat "pengharapan" yang bukan ditujukan pada Allah, tapi terkesan, pengharapan pada manusia.Kegalauan yang tak bertepi.

Padahal, Allah telah menutup aib kita dengan baik. Namun, justru terkadang kita lah yang mengumbarnya ke khalayak. Bahwa tidak boleh seorang istri mengumbar aib suami kepada orang lain. Mengumbar kesalahan, kegagalan dalam keluarganya, kepada orang lain. Bukan untuk mencari solusi, tapi hanya niat mengeluh. Buktinya, disampaikan ke tempat umum. Bukan sendiri sembunyi meminta nasehat pada yang ahli, malah diumbar tak mengarah, hingga justru tambah parah.

Padahal, Allah telah menutup aib kita dengan baik. Namun, justru terkadang kita lah yang mengumbarnya ke khalayak. Perilaku anak yang kita rasa tak pantas, bukannya diikat dengan nasehat, malah disumbar koar-koar. Ke tetangga kanan kiri, kompleks depan kompleks belakang. Niatnya sih, mencari solusi, mungkin ada yang punya pengalaman sama. Tapi jatuhnya pada keluh. bahkan menjadi doa yang didengar dan diamini oleh yang dikisahi. Jika perkataan kita kepada anak saja adalah doa, apalagi, ditambah diamini orang lain.

Padahal, Allah telah menutup aib kita dengan baik. Namun, justru terkadang kita lah yang mengumbarnya ke khalayak.

Di atas, hanya sebagian. Bahwa masih banyak yang mendapati hal serupa. Di banyak aspek. Seringnya lupa, bahwa aib tak boleh disebar. Seringnya lupa, bahwa kata bisa menjadi doa. Seringnya lupa, bahwa Allah melarangnya.

Padahal, Allah telah menutup aib kita dengan baik. Namun, justru terkadang kita lah yang mengumbarnya ke khalayak.

Berhati-hatilah berucap. Berhati-hatilah berkicau..
Banyak bicara, banyak peluang salah
Meski bisa jadi juga, peluang kebaikan juga makin banyak

Maka semua butuh ilmu. Agar yang tersampai tak mubadzir. Agar yang tersampai tak mendzalimi. Agar yang tersampai tak menyakiti. Dan agar yang tersampai, tak mengumbar aib. Karena Allah, sangat menyayang diri. Ditutupnya aib hingga bisa jadi, diri nampak lebih daripada yang sesungguhnya. Ditutupnya aib, hingga bisa jadi, orang masih mau mendengar apa yang kita sampaikan. Ditutupnya aib, karena Allah mengingin, kita membaik tanpa didatang cela tak laik.

Maka, semua butuh ilmu. 

Dan karena sedikitnya ilmu saya, dan agar tak menyakit pula mubadzir, saya sudahi saja kicauan ini. Hanya rehat, mungkin renungan. Khususnya buat diri, dan mungkin yang merasa teringati. Semoga tak ada yang terdzalimi. Maafkan saya yang tiada santun ini. Trimakasih.. :D

*H.R Ibnu Hibban [1285], Ath Thabrani [I:1/69], dan lainnya

0 comments:

Post a Comment